Gabung dan dapatkan Fasilitas menarik disini.

Senin, 19 April 2010

Tambahan Makalah sebelumnya.

Berikut ini merupakan beberapa tambahan untuk melengkapi makalah yang sebelumnya.

TAHAPAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN
Dalam Risalah Ta’lim, Hasan Al-Banna mengatakan, “tahapan dakwah ini ada tiga macam”:

1. TA’RIF
Dalam tahapan ini dakwah dilakukan dengam menyebarkan fikrah islam ditengah masyarakat. Adapun system dakwah untuk tahapan ini adalah system kelembagaan. Urgensinya adalah kerja social bagi kepentingan umum, sedangkan medianya dalah nasehat dan bimbingan sekali waktu, serta membangun berbagai tempat yang berguna diwaktu yang lain, juga media aktivitas lainnya. Semua syu’bah (nama suatu kelompok Ikhwan) yang ada sekarang adalah representasi dari tahapan ini dalam kehidupan dakwahnya.ia terkoordinir dalam ‘undang-undang pokok’ yang telah dijabarkan melalui berbagai risalah dan penerbitan Ikhwan. Dakwah yang dilakukan pada tahap ini bersifat umum.
Jamaah menjalin hubungan dengan orang yang ingin memberikan kontribusi bagi aktivitasnya dan ingin ikut menjaga prinsip-prinsip ajarannya. Ketaatan yang tanpa reserve- pada tahap ini- tidaklah dituntu, bahkan tak lazim. Tingakatnya seiring dengan kadar penghormatannya pada system dan prinsip-prinsip umum Jemaah.

2. TAKWIN
Dalam tahapan ini dakwah ditegakkan dengan melakukan seleksi terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun berbagai bagian yang ada. System dakwah pada tahapan ini bersifat tasawufmurni dalam tataran ruhani dan bersifat militer dalam tataran operasional. Slogan untuk dua aspek ini adalah: perintah dan taat dengan tanpa keraguan semua kitabah (nama seuatu kelompok para militer Ikhwan) yang ada kini adalah represintasi dari tahapan ini dalam kehidupan dakwahnya. Ia terhimpun dalam risalah manhaj yang lalu.
Dakwah pada tahapan ini bersifat khusus. Tidak dapat dikerjakan oleh seorang kecuali yang memiliki kesiapan yang benar untuk memikul beban jjihad yang panjang masanya dan berat tantangannya. Slagan utama dalam persiapan ini adalah: totalitas ketaatan.

3. TANFIDZ
Dakwah dalam tahapan ini adalah jihad, tanpa kenal sikap plin-plan, kejar terus menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan kesiapan menanggung cobaan dan ujian yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali orang-orang yang tulus. Tidaklah dapat dakwah ini meraih keberhasilan kecuali dengan ‘ketaatan yang total juga’. Untuk inilah shaf pertama Ikhwanul Muslimin berbait pada bulan rabi’ul Awwal 1359 H.
Dengan bergabungnya kalian dalam katibah ini, dengan sikap menerima kalian akan risalah ini, dan dengan kesetiaan kalian pada bai’at ini, kalian telah berada ditingkatan kedua menuju tingkatan yang ketiga. Tunaikan tanggung jawab yang telah dipikjul kepadamu dan siapkan dirimu untuk setia kepadanya.

Udztad Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa dakwah ini terjadi dari beberapa tahap, yakni: ta’rif, takwin dan tanfidz. Dengan ini;ah kita mengantarkan umat islam dari satu tahapan ketahapan yang lain dan dari satu kondisi kekondisi yang lain, sehingga dapat mengantarkan mereka ketujuan. Oleh karena itu, hanya pemimpin dan jamaah yang benarlah yang dapat mengatur telaksananya ketiga tahapan itu hingga semuanya menuai sukses.
Adapun kepemimpinan yang lemah, tidak dapat melakukan program tiga tahapan ini, baik secara keseluruhan maupun sebahagiannya., atau salah satunya sekalipun, maka ia tidak patut hidup. Demikian juga jamaah, dengan segaka unsurnya, jika tidak mampu menunaikan tugas ini, ia juga tidak memiliki cukup alas an untuk dipertahankan keberadaannya.
Agar ketiga hal ini dapat sukses maka kita harus memiliki tiga perangkat, yakni: perangkat ta’rif, perangkat takwin dan perangkat tanfidz. Setiap perangkat harus memiliki manhaj, perencanaan, metode, dan kecakapan. Semuanya harus dalam naungan heirarki organisasi, program kerja yang komperhensif, serta persepsi yang jelas tentang pendidikan dan pengajaran. Ini menuntut kejelasan dalam peringkat keanggotaan, kualifikasi dan sinergi fungsi berbagai perangkat.

BENTUK-BENTUK KAGIATAN
Hasan Al-Banna tidak mengarahkan satu bentuk kegiatan saja untuk mengisi program ta’rif, takwin dan tanfidz. Ia menyebutkan bahwa masing-masing tahapan, dari ta’arif hingga tanfidz, dapat diselesakan dalam posisi sebagai sebuah tahapan yang berdiri sendiri.
Dilain tempat ia menggabungkan dalam dua bentuk. Ia berkata, “Adapun perihal langkah bertahap, mengandalkan tarbiyah, danjelasnya langkah Ikhwanul Muslimin semua itu karena menyakini bahwa setiap dakwah harus melalui tiga tahap, yakni: tahap propaganda, tahap pengenalan (ta’rif), dan pemberian kabar gembira serta informasi pada masyarakat ditingkat bawah. Kemudian diikuti dengan tahapan pembentukan (takwin), mencetak pendukung, mempersiapkan pasukan dan mobilisasi barisan diantara mereka. Kemudian barulah disusul oleh tahapan aplikasi (tanfidz), yakni aksi dan produksi. Seirnga terjadi ketiganya beriringan mengingatn adanya kesatuan dakwah dan kuatnya hubungan masing-masing. Seorang da’I, ketika ia menyeru, ia juga menyeleksi dan mentarbiyah. Disaat yang sama ia melakukan aksi dan aplikasi. Akan tetapi, tidak diragukan bahwa tujuan akhir dan hasil tuntasnya tidak mungkin tampak kecuali setelah memasyarakatnya dakhwa, banyaknya pendukung, dan solidnya takwin.
Kata-kata Hasan Al-Banna ini telah memberikan kesempatan besar kepada kita untuk berpikir menerapkan tahapan –tahapan dakwah sesuaidengan tuntutan kondisi dan kebutuhan tahapan tertentu, dan tuntutan lainnya. Adapun bentuk tuntutan-tuntutan tersebut antara lain:
Bentuk pertama.
Seluruh unsur jamaah berkonsentrasi melakukan kegiatan ta’rif melalui ceramah-ceramah, halaqoh (yang umum maupun yang khusus), penyebaran buku dan penjelasan. Ketika masyarakat luas telah terkondisi dengan semua bentuk dakwah itu, secepatnya kita melakukan seleksi cermat terhadap unsur-unsur yang dianggap mampu memainkan peran tanfidz. Setelah itu barulah dilaksanakan kegiatan tanfidz secara teliti dan terencana.
Bentuk Kedua.
Seluruh unsur Jamaah disaat yang sama berkonsentrasi melakukan ta’rif dengan saran-sarannya; takwin dengan saran-sarannya; dan tanfidz juga dengan saran-sarannya. Tentu saja ini menuntut adanya berbagai sarana yang dapat dioperasionalkan secara berkesinambungan dan integral, di bawah pengawasan dan pimpinan yang mampu meletakkan persoalan pada tempatnya.
Bentuk Ketiga.
Seluruh unsur Jamaah secara serentak ditahapan ta’rif, lalu berpindah secara serentak untuk melakukan takwin terhadap unsur-unsur yang dihasilkan dari tahapan sebelumnya, lalu bergerak secara serentak pula menuju tanfidz. Setelah itu kembali lagi ketahapan ta’rif secara serentak, lalu ke takwin kemudian ke tanfidz. Demikian seterusnya.
Betuk Keempat.
Jamaah hanya memusatkan kegiatan pada ta’rif dan takwin secara bersama. Pemimpin sendirilah yang mempersiapkan langkah tanfidz dan kajian berbagai kemungkinannya. Demikian itu terus dilakukan sampai pemimpin yakin dapat melakukan tanfidz secara menyeluruh.
Betuk Kelima.
Ta;rif, takwin dan tanfidz dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan diawsi oleh satu unit tersendiri. Barang siapa telah menta’rif ia boleh mentakwin dan selanjutnya tanfidz. Tidak ada pemisahan yang transparan antara yang satu dengan yang lain; tidak dalam perangkat, tidak dalam personil, tidak juga dalam tahapan. Begitulah, pertumbuhan ta;rif, takwin dan tanfidz adalah satu adanya. Namun, bentuk kegiatan ini menuntut setiap personil memiliki kemampuan ta;rif, takwin dan tanfidz disaat yang besamaan
Demikianlah, kita mendapatkan bahwa berbagai bentuk kegiatan dapat dilakukan seiring dengan beragam kondisi yang melingkupi suatu wilayah tertentu atau wilayah islam tertentu. Pimpinan yanga dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai denga kondisi sekitar itulahpemimpin yang berkapabel dan terpercaya.

INTEGRITAS ANTARA TA’RIF, TAKWIN DAN TANFIDZ.
Ta’rif tetap memiliki tujuan utama yakni mengenalkan islam kepada oran g dan membekali mereka dengan tsaqafah islam yang memadai, baik tsaqafah tentang masa lalu maupun masa kini. Juga mengenalkan Jamaah dan fikrahnya agar orang memberika totalitas dengan iman, shalat dan zakat, yakni mengenal Islam dan menjadikan komitmen kepadanya dan kepada umatnya secara umum. Yang paling pentung adalah mengambil bagian sesuai dengan kepahamannya terhadap tiga persoalan pokok (Allah, Rasul dan Islam) terhadap Al-Qur’an dan ilmunya, khusunya tilawah dan hafalan, terhadap sunah dan ilmunya, terhadap fiqih, tauhid dan tashawuf yang bersih terhadap ushulul fiqih, bahasa arab, sejarah Islam, sirah, wawasan kontemporer dunia Islam, konspirasi untuk menghancurakn islam dan cara-caranya, studi-studi Islam kontemporer, serta fiqih dakwah dalam halaqoh umum dan khusus, juga usrah.
Persoalan ini besar dan kompleks, karena butuh waktu yang lama untuk mengurusnya. Yang harus dicatat kita hendaknya tidak bergeser dari tahapan ta’rif ketahapan takwin hingga kita yakin bahwa komitmen yang penuh dan kesiapan untuk taat secara total sudah terwujud. Yakni bahwa kesiapan untuk bertaqwa dan taat terhimpun dalam diri.

“…bertaqwalah kamu kapada Allah dan taatlah kepadaku” (Ali Imran: 50)


Selama kesiapan dan komitmen prinsip hidup sudah terwujud, maka tidak ada lagi hambatan untuk membawa seseorang ke usrah takwin secara total. Di usrah takwin prinsip dasarnya adalah bekerja dan berlatih. Kita telah melihat ungkapan Hasan Al-Banna tentang takwin: “system dakwah dalam tahapan ini bersifat tashawuf murni dalam aspek ruhiyah dan militer murnu dalam asper operasional. Slogan dalam kedua aspek ini adalah perintah dan taat tanpa ragu dan berat hati.”
Oleh karena itu, Pembina dalam takwin harus melihat seorang akh dengan standard studi dan pemahamannya yang mendalam, komitmen danpengorbanannya, serta ibadah dan ketaqwaannya. Kemudian, dalam konteks manhaj dan peta ketakwinan, diminta kepadanya untuk menyempurnakan kekurangannya, dengan kesungguhan, dengan penguasaan atas brbagai rujukan ilmu dan pengajaran islam, kajian dan daurah,

IKHWANUL MUSLIMIN DAN POLITIK
Setelah mengemukakan hujjah yang menyatakan bahwa Islam pun berpolitik dengan misi membawa kebahagiaan bagi umat manusia, lalu Beliau menegaskan pernyataan tersebut dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SAW. Beliau menjelaskan bahwa dikotomi agama dan politik merupakan virus-virus yang bersumber dari Barat yang telah menular kepada para pemimpin dan pejabat pemerintahan di negeri-negeri Islam. Imam Hasan Al-Banna mengumandangkan Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan dakwah Islam yang menyerukan pada pemahaman Islam yang komperhensif yaitu Islam yang berlandaskan pada politik yang mengatur semua aspek kehidupan manusia.
Imam Hasan Al-Banna pernah berkata: “Wahai para pemegang kekuasaan, ketahuilah bahwa Allah telah mengetahui bahwa kader-kader Ikhwanul Muslimin adalah para politisi dan kader Ikhwan tidak akan pernah berasal dari non-muslim serta Ikhwanul Muslimin tidak memisahkan poitik dari agama”.

Siapa pun yang mengira bahwa Islam tidak menyentuh wilayah politik atau berprasangka bahwa politik bukan tema pembahasan dalam Islam, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya dan telah menganiaya ilmunya. Saya tidak mengatakan bahwa mereka telah menzhalimi Islam, karena Islam adalah syariat Allah yang tak akan pernah tersentuh oleh kebatilan, baik yang datang dari depan maupun dari belakang.
Betapa indahnya ungkapan Ghazali berikut: “ketahuilah bahwa Islam adalah pokok, sementara pemerintahan adalah penjaganya, sesuatu yang tidak punya pokok akan hancur dan sesuatu yang tak terjaga tentu akan hilang. Sebuah negara Islam tidak akan pernah berada dalam asas dakwah yang kokoh sehingga negara itu memiliki misi risalah Islam, bukan sekedar menyusun formasi administratif dan pemerintahan secara fisik yang tak memiliki ruh. Demikian pula halnya dakwah tak akan berjalan lancar kecuali dengan perlindungan, bantuan dan dukungan dari negara Islam”.
Imam Hasan Al-Banna telah menjelaskan strategi politik Ikhwanul Muslimin dengan sangat gamblang sekali dalam sebuah ceramah Beliau berjudul: “Ikhwanul Muslimin dan Politik” yang termasuk dalam risalah “Ila Ayyi Syai’i Nad’u An-Naasa”.
Dalam ceramah tersebut Beliau berkata: “Wahai umat Islam, kami memanggil kalian semua, Al-Qur`an yang berada di tangan kanan kami, Sunnah berada di kiri kami, tindakan para pendahulu kita (salafus shalih) yang shalih menjadi panutan kami, dari hati yang paling dalam kami mengajak umat Islam untuk kembali pada Islam, hukum Islam dan petunjuk-petunjuknya. Jika semua hal di atas diistilahkan dengan politik, maka itulah politik kami. Jika orang yang memperjuangkan hal-hal tersebut mereka juluki para politisi, maka kamilah yang paling pantas dijuluki para politisi tersebut.
Karakter politik Islam tidak lain adalah politik yang mempunyai misi perwujudan kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun akhirat, maka hendaklah Anda memiliki etika politik seperti itu, ajaklah rekan-rekan Anda serta berpegang teguhlah pada etika politik yang memprioritaskan kebanggaan terhadap akhirat . Dalam kongres VI, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan dalam orasinya: “Jika kita dikenal sebagai para politisi, itu artinya karena kita memiliki kepedulian dan perhatian terhadap kondisi umat Islam dan karena kita yakin bahwa pemerintahan merupakan salah satu elemen dari sekian banyak aturan-aturan Islam, bahwasanya kebebasan berpolitik dan rasa patriotisme merupakan salah satu penyangganya. Kita berjuang dengan segala kemampuan demi kebebasan politik dan reformasi para aparat pemerintahan.
Kita sadar bahwa pembahasan ini bukan barang baru, hal ini dipahami oleh semua orang yang mengkaji Islam dengan kacamata yang benar. Sementara keberadaan jamaah Ikhwanul Muslimin dan keberadaan kita adalah semata-mata merealisasikan misi-misi tersebut dan kita tidak akan menyimpang dari jalan dakwah ini meski sehelai rambut sekalipun. Dakwah yang dituntut Islam terhadap Muslim tidak terbatas hanya sebagai ungkapan nasehat dan wejangan semata, tapi Islam selalu memotivasi umatnya untuk berjuang dan berjihad.
Firrnan Allah QS. Al-‘An¬kabut 69:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar